Me

Me

Minggu, 19 Desember 2010

seri telaah kristen X: AKIDAH DAN SEJARAHNYA 2: MASA YUNANI KUNO

... LANJUTAN ...



FILSAFAT YUNANI KUNO ATAU SOFISME-RELATIVISME


Setidaknya, mari kita telaah berbagai pemikiran dan distorsi atau bahkan resultan dari telaah pemikiran (Filsafat) dan Hati ini, sejak suatu jaman terkenal, yaitu jaman Yunani Sofisme Kuno dengan Filsafat Sofistik Yunani Kuno pra-Masehinya itu. 

Permulaan pemilihan masa telaah ini juga sesuai dengan pembagian telaah jaman yang umum saat ini (sesuai pembagiannya oleh bangsa Barat yang mendominasi ilmu-pengetahuan saat ini). 

Masa Yunani Kuno ini antara lain bertokohkan Filsuf Thales (624-546 SM), Anaximander, Parmanides, Gorgias, Zeno, Socrates, Plato, Aristoteles, Ptolemeus, Galen, Hipocrates, Euclides, dsb. 

Masa ini kemudian juga menjadi salah satu inspirasi Renaissance Barat berabad-abad kemudian setelah Masa Abad Pertengahan (Medieval), dalam melawan kebodohan masa Abad Pertengahan.

Walaupun sudah jamak pula kebiasaan orang dalam berpikir kritis di masa Yunani Kuno ini, namun secara umum inti dari pemikiran-pemikiran Filsafat Sofistik Yunani Kuno mereka adalah ”relativitas pemikiran”, atau yang disebut juga sebagai, Filsafat Relativisme. 

Filsafat Relativisme ini, adalah paham yang berdasarkan pemikiran dasar bahwa "Kebenaran itu sesungguhnya (adalah) relatif”. Maka karenanya pula, ”seluruh versi kebenaran dapat saja menjadi benar”, yang dalam hal ini bahkan masih pula bergantung kepada pemikiran, perasaan, hawa nafsu, dan lain-lain, dari para pemikirnya; manusia, tentu saja. 

Dan di beberapa Abad kemudian, khususnya di masa kini, ini juga menjadi salah satu inspirasi dasar gerakan Pluralisme. Termasuk juga dalam Pluralisme Agama (”Bahwa semua agama itu benar, semua mengajak ke Surga, maka Tuhan dapat dicapai melalui agama manapun, karena kebenaran itu sebenarnya relatif”) dan Liberalisme, yang didengung-dengungkan kaum Liberalis, Sekuleris, Pluralis, Spiritualis, Fremasonry, dan sebagainya. 

Kemungkinan menelaah dan menggunakan alam semesta dengan menggunakan akal yang ternyata terbatas kemampuannya itu, menjadi menarik, bagi kaum ini, dan mereka menggunakannya untuk memahami segala hal. 

Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sebab dari Filsafat, adalah pemikiran akan alam semesta, dan segala hal yang berkaitan dengannya. Maka, misalnya yang terkenal, dalam hal ini, adalah perdebatan di antara mereka sendiri, kaum pemikir-filsuf di masa Yunani Kuno itu, tentang apa sesungguhnya isi dari alam semesta, yang notabene lebih didasarkan kepada sangkaan dan pemikiran menurut mereka secara ‘bebas’ (dengan kata lain juga, lebih-kurang, adalah dengan ‘liar’), tanpa banyak mengindahkan petunjuk aturan dari Tuhan. 

Kiranya ini juga dapat telah terjadi karena tak cukup ada ilmu-pengetahuan di masanya, sebagai pembanding-penguji kebenarannya, maka pemikiran dapat menjadi liar, rusak, dan merusak. Dan manusia serta lingkungannya pun tak pelak turut menjadi rusak. Kebijaksanaan, atau hikmah, tentu saja, diperlukan dalam menyaringnya. 


Dalam buku ”Filsafat Umum” oleh Prof. Ahmad Tafsir (banyak sumber penulisan tentang berbagai macam Filsafat di naskah ini berasal dari buku ini pula), contoh telaah pemikiran relatif dari Filsafat Relativisme Sofistik Yunani adalah:

- Klaim Thales tentang alam semesta, dalam menjawab pertanyaan ”Apakah isi alami dari alam semesta?” Jawabannya karenanya adalah, ”Air! ”. 

- Klaim Anaximander tentang pertanyaan yang sama, yang adalah bahwa, “Substansi pertama, yaitu udara, telah ada dengan sendirinya”. 

- Klaim Heraclitus bahwa, “Berdasarkan intuisi(nya), alam (itu) selalu berubah”. 

- Di luar klaim ini, ada tokohnya yang lain yang bernama Parmanides, yang bersandarkan kepada pemanfaatan logika dan deduksi logis (primitif). 

- Sementara itu, Filsuf yang bernama Zeno, masih menekankan pada telaah Filsafat Relativisme dan karenanya mengaminkan Relativisme kebenaran. 

- Tokohnya yang mungkin paling terkemuka adalah Socrates (384-322 SM).

Socrates dapat dikatakan adalah seorang moralis yang tidak sepenuhnya mendasarkan diri pada Akal, namun juga membangun pemahamannya melalui eksplorasi Hati, dan ia tidak mau percaya pada relativitas kebenaran. 

Maka Socratespun menegaskan bahwa, “Tidak semua kebenaran relatif, melainkan ada kebenaran sejati secara umum atau obyektif”. 
Di sini, Socrates telah selangkah lebih maju daripada rekan-rekan sejawatnya, mencoba menelaah alam dan potensinya dengan lebih seimbang. Dia, menurut kaum Filosof Barat, lebih religius. 

- Murid Socrates, Plato, adalah pencetus Filsafat Teosentris, yaitu sebuah pemahaman bahwa semuanya berpusat kepada Tuhan, dan kebenaran itu karenanya, sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan. Dia pun, seperti gurunya, semakin religius. 

Paham Platonisme ini di kemudian hari, di masa Filsafat Kristen, menjadi dasar bangsa Barat (Kristen) dan para Filsuf serta aliran Filsafatnya untuk mengklaim tentang kemutlakan kebenaran ajaran agama mereka (penjelasan tentang ini semua ada di bagian Filsafat Abad Pertengahan) dengan segala argumentasinya. 

Bahkan kaum Apologetik yang senang mencari berbagai macam cara untuk membenarkan klaim mereka, misalnya kaum Apologetik Gereja, senang bermain-main di antara berbagai paradigma pemikiran terutama pemkiran a la Relativisme, sayangnya tanpa banyak menyadari kiranya, bahwa tak ada pemikiran manusia yang sempurna.

- Tokoh Filsafat Sosisme Yunani yang menonjol kemudian, Aristoteles, amat dipengaruhi metode yang kemudian disebut sebagai metode Sistematis Empiris yaitu metode yang mendasarkan keyakinannya hanya kepada pengalaman yang dialami, dalam menelaah sesuatu. Penganut paham ini, tak akan mau mempercayai apapun, tanpa mengalaminya terlebih dulu. 

Hal ini, di kemudian hari berabad-abad kemudian, juga menjadi dasar paham yang mengedepankan logika (saja) dalam menelaah apapun, misalnya, paham Rasionalisme, Materialisme, dan tentu saja, Empirisme (penjelasan tentang ini semua ada di bagian Filsafat Modern dari naskah ini), yang menggali inspirasinya antara lain dari Filsafat Yunani Kuno ini, sesudah muak akan kungkungan akan potensi akal pada Masa Abad Pertengahan di bawah kontrol Gereja. 


Di masa ini, yang dipentingkan secara umum adalah penggunaan Akal. 

Dapatlah dikatakan karenanya, bahwa dalam masa ‘perang’ berkepanjangan antara Akal dan Hati sepanjang sejarah manusia, pemanfaatan Akal (walaupun secara dominan masih relatif menurut klaim pemikirnya masing-masing), dianggap menang pada masa itu.

Pemanfaatan akal dominan di masa ini, namun tetap tidak menjamin kebenaran, karena adanya kecenderungan kebenaran relatif (Filsafat Relativisme Sofis Yunani Kuno) di mana semua versi kebenaran manusia dapat saja secara bersamaan dianggap benar itu, (tak cukup) obyektif. 


... BERSAMBUNG ...

seri telaah kristen IX: AKIDAH DAN SEJARAHNYA 1: MASA YUNANI KUNO

.. LANJUTAN ...

Kita akan kembali ke masa Yunani Kuno, sebelum masa Masehi saat Yesus dalam khazanah Kristen ada di Bumi. Ini diperlukan, untuk mengerti cara berpikir kaum Barat yang mendominasi agama Kristen, termasuk bahwa ada berbagai pemikiran dan akidahnya yang diadopsi mereka. 

Maka menurut Barat atau Filsafat Barat, sehubungan dengan ini, telaah agama dan pemikiran, dapat pula dipisahkan kemudian (bila memang saja perlu untuk dipisahkan), mengikuti pengaruh adanya sekian banyak konsentrasi penelaahan dan pembangunan potensi manusia yang dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yang juga sesuai menurut para ahli pemikiran modern Barat yaitu:

• penelaahan melalui jalur Akal (berdasarkan logika, rasio, empirik, nyata) 

• penelaahan melalui jalur Hati (berdasarkan perasaan, abstrak) 

Kemudian kita dapat temukan pula pola, kecenderungan, naluri, tindakan serupa, rangkaian pemilah-milahan di berbagai hal-ihwal ragam sisi kehidupan manusia lainnya yang mengikuti dua pemisahan dasar ini. 

Dan karenanya, dengan didominasi peradaban bangsa Barat itu, manusia selama berabad-abad pula membuat pemisahan yang akhirnya menjadi perang berkepanjangan antara:

- Pendukung telaah kehidupan ‘Jalur Akal’ (atau Pemikiran, Logika), melawan, 

- Pendukung telaah kehidupan ‘Jalur Hati’ (yang menurut sebagian manusia, adalah Agama atau Iman) 

Keduanya sering dianggap bertentangan pula satu sama lain, bagi sementara kalangan. 

Dalam Islam sendiri, tidaklah demikian, karena setidaknya saja, keduanya adalah potensi yang diberikan Allah subhanahu wa ta’aala kepada makhlukNya. 

Keduanya patut berjalan bersama dan karenanya pula, sepatutnyalah, saling melengkapi satu sama lain. Atau bahkan, sebenarnya, tak ada pembagian demikian. 

Dalam Islam, agama mencakup pemikiran dan perasaan, iman, mencakup perbuatan, dan apapun di luar itu, jika ada, yang relevan. Sudah pulalah ada bukti-bukti pendukungnya, yang cenderung pula dilupakan orang, misalnya tentang apa yang telah dicapai para generasi Islam awal, kegemilangan mereka yang tak terbantahkan sejarah, yang adalah contoh nyata pengejawantahan ini semua. 

Yang kemudian kiranya sebaiknya penting diwaspadai adalah bahwa pengkotak-kotakan itu bagi beberapa kalangan yang kurang awas (atau menjadi kurang awas, sengaja atau tidak), dapat menjadi jebakan berbahaya yang mungkin menjerumuskan mereka ke dalam pemahaman lebih lanjut yang juga terkotak-kotak. 

Demikian seterusnya dalam jebakan ’lingkaran setan’.

Pemahaman yang terkotak-kotak ini adalah serangkaian pemahaman-pemahaman yang tidak menyeluruh dan cenderung pula menyempit, walau memang pada dasarnya dapat saja demikian secara alami, dan secara naluriah tentu disesuaikan pula dengan potensi masing-masing, sekali lagi. 

Namun, apapun juga, keadaan ini, pengkotak-kotakan ini, tetap berbahaya, jika siapapun tak mempunyai gambaran menyeluruh (atau setidaknya mendekati menyeluruh) akan apapun yang ia hadapi. 

Dan keterkotak-kotakan ini, tentu saja dapat dipandang menjadi semacam satu pemecahan masalah (sementara) yang dapat melebar ke permasalahan baru (walaupun itu juga adalah satu kewajaran alami, Islami, manusiawi), sampai ke satu titik perhentian akhir nanti. Namun tetap tak lengkap. 

Maka dapat disadari pula kiranya, bahwa jamak pula umat manusia (setidaknya umat saat ini, sisa dari peradaban Modern yang digantikan masa Post-Modern saat ini, sejak Abad XXI Masehi masa ini, yang cenderung kembali ke hal alami, lebih Islami), mempercayai sangat akan kekuatan pemikiran (Akal) dan teknologi peradaban manusia (terutama dengan dipimpin cara peradaban Barat), yang ternyata sepanjang jaman pun masih pula berubah-ubah prinsipnya dan tidak membawakan kebaikan dan penyelesaian yang menyeluruh, integratif, paripurna, sistemik (kaafaah). 


SAINS DAN FILSAFAT SERTA MISTIK


Sebelum melangkah menuju pembahasan ini, berikut adalah beberapa hal yang perlu dipahami dalam khazanah Barat dan umum (karena jamak mengikuit pembagian ini), sebagai dasar dalam memahami pembagian-pembagian pembicaraan berikutnya tentang telaahnya. 

Prof. Ahmad Tafsir dari Indonesia dalam bukunya berjudul ”Filsafat Umum” menyebutkan tiga perbedaan dasarnya:

Sains: 

Didukung oleh bukti empiris (harus berdasarkan pengalaman atau dialami) dan logika. 

- Paradigma telaahnya adalah kaidah positif, dan metode ilmiah atau sains adalah sebagaimana dalam kalimat ”Buah ditanam, akan berbuah, dan buah ini terlihat nyata, dapat dimakan, dimanfaatkan.”

Filsafat: 

- Kebenaran yang didapatkan secara logis, tidak empiris (tidak dari pengalaman, tidak harus dialami). 

- Paradigmanya adalah kaidah logis, dan metode logisnya adalah sebagaimana dalam kalimat ”Buah ditanam, akan berbuah, maka, apakah guna lebihnya? Apakah maksudnya? Mengapa itu terjadi? Mengapa ada buah? Dsb. ...” 

Mistik: 

- Kebenaran yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan logis, misalnya tentang keberadaan Tuhan, makhluk halus (Jin) dan sebagainya. 

- Paradigmanya adalah kaidah mistis, beberapa kalangan menganggap metode latihannya adalah Dzikr, Riyadlah Sufistis dan lain-lain. 


Maka disebutkan pula, sebab timbulnya Filsafat sendiri adalah dari berbagai keindahan alam, fenomena alam, hukum alam, bahkan dongeng atau legenda masyarakat, dsb. Tujuan dari Filsafat (dan para pendukungnya) itu sendiri adalah untuk mencari pengetahuan sebenarnya, untuk ’menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya’ (dan ternyata gagal karena memisahkan potensi akal dan hati), dan isi dari Filsafat itu, tergantung dari obyek yang ditelitinya. 

Perbedaan Filsafat dengan Sains adalah bahwa obyek materia sains adalah empiris (nyata, dapat dialami), sedangkan obyek materia filsafat adalah abstrak (tak nyata), lebih luas atau non empiris mutlak (misalnya mengkaji tentang Tuhan, Hari Akhir, dsb.). 

Secara umum karenanya, manusia biasa menyebut pula bahwa Filsafat memanglah didasarkan pada Akal, dan para Filsuf serta peminatnya, adalah para pendungkung utama jalur Akal ini. 

Pendeknya, penelaahan jalur Akal adalah sama dengan (berdasarkan) Filsafat, dan dalam khazanah Barat, agama adalah sama dengan semata-mata mengandalkan telaah perasaan, Hati (satu hal yang berbeda dengan kaidah Islam tentang keduanya, yang patut ditelaah seimbang). 


... LANJUTAN ...