Me

Me

Kamis, 17 Februari 2011

seri telaah kristen

TELAAH SINGKAT PEMIKIRAN DAN KEIMANAN AHLUL KITAB ABAD PERTENGAHAN (AWAL MASEHI HINGGA SEKITAR ABAD XIV MASEHI MEDIEVAL ATAU DARK AGES)

ABAD KEGELAPAN

Berlanjut ke apa yang kemudian dinamakan Jaman Abad Pertengahan yang berlangsung lama, lebih-kurang selama lima belas Abad, dari sekitar Abad I sampai Abad XV M. Mas ini disebut juga sebagai Era atau masa Medieval atau juga Abad Kegelapan atau Dark Ages) dan dimulai setelah masa Nabi Isa bin Maryam ‘alaihis salaam menapakkan kaki di muka Bumi dan berdakwah.

Beliau dikenal juga sebagai Isa bin (anak) Maryam, yang dengan sejumlah perkecualian dan catatan perbedaan mendasar adalah hampir dapat dikenal sama juga sebagai Yesus Kristus atau Yesus dari Nazareth dalam khazanah Kristen.

Kegemparan akan datangnya ’Yesus dari Nazareth’ yang tak memiliki ayah dan nasabnya ditahbiskan kepada Maryam (Maria), ibunya, dan dalam hidup singkatnya menampilkan berbagai mukjizat luar-biasa itu, mengguncang peradaban manusia di sekitarnya saat itu, dan banyak orang yang kemudian berspekulasi akan kenyataan ini.

Di masa ini, lahir pula agama Kristen, dan ide-idenya mendominasi relung kehidupan masyarakat Eropa dan pengikutnya, termasuk para Pemikirnya. Dan wajah peradaban Barat pada Abad Pertengahan ini, karenanya, didominasi oleh Filsafat Kristen.

Filsafat Kristen atau Abad Pertengahan ini, antara lain bertokohkan Filsuf Plotinus, (Santo atau Saint) Augustinus atau Augustine, (Saint) Anselmus, Robert Grosseteste, Roger Bacon, Albert Agung, Thomas Aquinas, dsb.; yang kesemuanya sepakat mengedepankan iman dogmatis (tak boleh dibantahi) Kristiani, dan telaahnya pun bersifat religius-dogmatis, akibat pengaruh hebat dan dominan Agama Kristen yang didominasi oknum kaum Gerejawan dan Monarki Baratnya, dengan segala ragam tafsir dogmatisnya.

Dan tak pelak pemanfaatan Platonisme a la Yunani Kuno (dicetuskan Plato) yang mengajarkan bahwa kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan namun berjenis dan berbungkus baru, yang disebut sebagai Neo-Platonisme, menjadi gencar dan ditahbiskan sepenuhnya tanpa telaah kristis kepada iman Kristiani. Ini, mau tak mau mendukung pula klaim dogmatis akan kebenaran Kristen.

Para ahli Filsuf dan Agamawan mereka di saat itu karenanya teguh bermottokan ”Credo et intelligam”, atau ”Keyakinan (keimanan agama) berkedudukan di atas pemikiran (logika), keyakinan mengungguli pemikiran” atau lebih mudahnya, ”Yakini dulu sesuatu, baru carikan alasan untuk menjelaskannya”.

Maka, dengan sendirinya, Akal (di Barat) benar-benar kalah pada masa ini (terutama terlihat pada isi Filsafat dari Plotinus, Augustinus, Anselmus). Bahkan potensi pemanfaatan akal diganti mutlak oleh Augustinus dengan Iman dogmatis, sebelum penghargaan terhadap potensi Akal sempat muncul kembali kemudian pada masa Thomas Aquinas di akhir masa Abad Pertengahan itu.

Dan karenanya pula, Aquinas kemudian ditentangi hebat dan dibenci sebagian besar masyarakat Gereja yang terlanjur menjadi pendukung jalur Hati, iman Kristiani, yang dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah iman mutlak dogmatis a la Kristiani, tak mengindahkan telaah kritis akal.

Ini juga tak pelak menyebabkan masyarakat Barat di masa itu secara luas menjadi percaya dan beriman dogmatis akan ‘rasa hati’ (atau yang adalah agama, Kristen, lebih tepatnya Kristen Katolik, bagi mereka), karena menurut mereka, Agama adalah rasa hati dan Filsafat adalah pemikiran. Filsafat dan Agama itu sendiri, satu hal yang di masa sesudahnya, terutama masa Thomas Aquinas, dicoba untuk disatu-padukan namun menemui sejumlah kendala sampai masa Modern merebak.

Keyakinan Ksritiani yang mendominasi di masa Abad Pertengahan ini, menjadikannya tidak boleh atau tidak mudah untuk dapat dikritiki, sekaligus membuat kedudukan mereka yang berada dalam struktur otoritas agamanya menjadi tinggi, dan tak dapat disalahkan. Dan karenanya ini juga membuat mereka makmur secara ekonomi, juga sebagai pemegang mandat negara, dengan mandat Otokrasi dan Teokrasi Kristiani.

Dan kenyataan ini bagi sebagian orang lain, misalnya rakyatnya yang mereka pimpin, artinya juga adalah kesemena-menaan yang diorganisasikan.

Kekuasaan absolut negara dan pusat-pusat kesejahteraan masyarakat saat itu dipegang mutlak oleh Gereja dan Kerajaan, dengan pajak sistem Feodalisme berdasarkan tafsir mereka terhadap iman Kristiani dan bahwa Gereja adalah wakil Tuhan di Bumi dan bahwa sistem pemerintahan yang terbenar adalah Kerajaan Kristiani penyokongnya. Golongan Ksatria, dan Raja, adalah pelindung rakyat, dan rakyat harus membayar pajak kepada mereka, yang penafsirannya seringkali dianggap semena-mena oleh rakyat.

Tak pelak juga, maka, perkembangan ilmu-pengetahuan yang biasanya berdasarkan kepada gelitikan pemikiran, rasa penasaran, kebertanya-tanyaan, pemikiran, pun menjadi lambat pula. Pendeknya, potensi telaah Akal pada masa ini, dihambati.

Ada pula pada masa ini yang disebut sebagai Lembaga Inkuisisi Gereja, yang pada awalnya hanya mengisolasikan, membersihkan, menghukum (dan kalau perlu menyiksai dan membantai) orang Kristen yang dianggapnya kafir (artinya yang dianggap tak sejalan dengan pendapat Gereja), pendeknya terhadap mereka yang menodai, menentangi ajaran Gereja.

Dan ini terjadi terutama terhadap mereka yang termasuk di dalamnya adalah terhadap kaum Homoseksual, kaum Lesbian, mereka yang dianggap sebagai Penyihir, orang-orang yang mungkin sebenarnya adalah penderita penyakit tertentu yang di masa itu belum terjelaskan, atau bahkan terhadap para Penemu atau Ilmuwan yang metodanya tak dapat dipercaya kaum petinggi Gereja pada masanya (misalnya apa yang Gereja jatuhkan terhadap Galileo Galillei), dan sebagainya.

Namun tujuan dan sasaran Inkuisisi Gereja ini kemudian juga meluas menjadi pemusnahan massal terhadap Muslim dan Yahudi yang hidup di Eropa di masa itu juga (yang tentu saja, dalam pandangan Gereja saat itu, kaum Muslimin dan Yahudi jelas adalah orang-orang Kafir dan karenanya tak perlu kiranya dibiarkan hidup mengotori dunia mereka).

Inkuisisi Eropa ini kemudian (khususnya di Spanyol), juga dengan sendirinya menjadikan wilayah Muslim Kekhalifahan Barat di Spanyol dan Portugal (serta di wilayah yang tak seberapa jauh, para muslim yang bermukim di Sisilia), menjadi wilayah Eropa Kristen-Katholik kembali. Dan pembantaian massal ini, berpuncak di sekitar tahun 1491 M.

Yang menarik kiranya, bukan kebetulan pula, tahun ini adalah sekitar satu tahun sebelum Christophorus Columbus berlayar dari Spanyol mencari dunia dan sumber kekayaan baru pada tahun 1492 M, dengan direstui Raja dan Ratu Spanyol yang telah memimpin proses Inkuisisi akhir itu (Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol) dan merebut Spanyol dari kaum muslim; untuk secara tak sengaja kemudian menemukan Benua Amerika, ’Dunia Baru’ itu.

Maka akidah umumnya sendiri di saat itu, didasarkan penuh kepada berbagai persangkaan pemikiran yang didapatkan dari berbagai (puluhan, ada yang menyebut sekitar empat puluh lima, ada yang menyebut sekitar tujuh puluh) versi Injil yang beredar saat itu dengan berbagai penafsirannya, yang kemudian dipilahi menjadi empat Injil (Injil Kanonik).
Dan termasuk di dalamnya adalah pemahaman bahwa Yesus dari Nazareth adalah Tuhan dan Anak Tuhan (yang sekaligus berarti oknum Tuhan ada tiga seluruhnya yang disebut sebagai ajaran Trinitas yaitu terdiri dari tuhan Bapa, Anak, Roh Kudus, hasil Konsili Gereja Chalcedon sekitar empat ratus tahun setelah Nabi Isa AS tidak ada di muka Bumi), lalu meyakini bahwa cara hidup selibat (tidak menikah) a la pertapaan Gereja adalah terbaik agar dapat menjadi dekat dengan Tuhan, juga bahwa kekuasaan tertinggi haruslah dipegang oleh Gereja (dan sistem Monarki-Teokrasi Kristiani), dan sebagainya yang menjadi pengejawantahan cara hidup sehari-hari mereka.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya peminjaman atau pengaruh Neo-Platonisme pada tahap perkembangan Kristen dan Filsafatnya kemudian di masa ini, menjadi dominan dan mendasari pendoktrinan-pendogmaan Kristen pula.

Namun juga ditemukan di kalangan minoritas Barat saat itu, pengaruh Filsafat yang mendasarkan pengandalan telaah pemikiran atau Akal a la Aristoteles, misalnya dengan adanya pemahaman kritis dalam deduksi logis (argumen intelektual), walaupun ini tak banyak. Juga ada Stoisisme (kesabaran dan penguasaan diri). Lalu ditemui adanya pengaruh tradisi Yahudi (dari Filsuf Philo), misalnya tentang penggunaan Alegori (kiasan), telaah kemahakuasaan Tuhan, tentang penciptaan, tentang Teokrasi (pemerintahan yang didasarkan kepada agama), dsb.

Golongan Apologis atau Apologetik (pencari alasan untuk pembenaran sesuatu) pun, anehnya (atau malahan justru), mulai menggunakan Filsafat Yunani (Filsafat Relativisme, bahwa ”Kebenaran itu relatif”) pula, untuk dapat membela kebenaran Injil (dengan berbagai argumen yang benar secara relatif). Dan karenanya kaum ini juga berlindung di balik berbagai argumen membingungkan, antara lain yakni menggunakan berbagai argumen akan kebenaran yang relatif itu.

Di luar itu, namun masih berkaitan pula dengannya, mulai populer pulalah istilah Logos atau firman, oleh Filsuf Clements, sebagai sarana (perantara) Tuhan (yang dianggap berada di luar ruang dan waktu), untuk berhubungan dengan manusia (yang berada di dalam ruang dan waktu).



PARA FILSUF ABAD PERTENGAHAN


Filsuf pada masa ini yang kiranya paling menonjol dan ajarannya mendasari peradaban Kristen di masa itu (dan sisanya di masa kini), adalah Filsuf Plotinus (204-270 M, orang Mesir, penganut Neo-Platonisme atau Teosentris) yang dikenal dengan konsepnya, Filsafat Metafisika, dengan konsep Transedens.

Konsep Transedens ini, meyakini bahwa sesungguhnya ada tiga realitas di dunia ini, yakni The One atau Tuhan, The Mind atau Nous atau ide-ide obyek, dan The Soul atau satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Dan teori ini dapat diperdebatkan pula sebagai serupa tapi tak sama dengan, atau setidaknya menyumbangkan pemikiran pendukung akan Dogma tentang Trinitas (yang diresmikan kemudian di berbagai Konsili Gereja sesudah masa Plotinus).

Trinitas sendiri adalah pemahaman para rohaniwan dan pemikir Kristen bahwa Tuhan itu sesungguhnya terdiri dari tiga oknum tuhan, tiga oknum kebenaran, yang walaupun berbeda dapat benar dan nyata secara bersamaan; yaitu oknum tuhan Bapa, oknum tuhan Anak, dan oknum tuhan Ruh Kudus.

Benih pemikirannya diperkenalkan Theopilus pada tahun 180 M, terutama dengan mengikuti pendapat-pendapat Paulus dari Tarsus (dikenal juga sebagai Saulus atau kemudian populer disebut sebagai Paul). Sebagai catatan, dogma Trinitas sendiri memang mulai semakin mengkristal di masa Plotinus ini, namun juga ditentangi kaum Kristiani minoritas sendiri (misalnya mereka yang masih termasuk keluarga Yesus dari Nazareth di masa itu) bahkan sampai saat ini yang tak mau menerima paham “tiga tuhan namun satu” atau “Three in One” ini.

Filsuf Plotinus itu kemudian juga membuat Teori Emanasi, bahwa dengan banyaknya makhluk yang ada di alam semesta ini, tidak lantas berarti bahwa di dalam Yang Esa itu ada pengertian (tentangnya dan jumlahnya) yang banyak pula. Menurutnya, Tuhan itu tidaklah sebanyak makhluk (tentu saja), dan alam ini diciptakan melalui suatu proses yang dinamakan Emanasi. Dan “The One” itu sendiri dalam berbagai proses ini, tidaklah berubah, serta penciptaan itu tidak berada dalam kerangka ruang dan waktu yang justru diciptakan (-Nya) kemudian.

Apapun juga, penting pula disebutkan bahwa tujuan utama dari aliran Filsafat a la Plotinus ini adalah untuk dapat bersatu-padu dengan Tuhan, antara lain melalui penginderaan tentang alam, menuju jiwa Ilahiah Penting pula dicatat kiranya, bahwa keberadaan Ilmu-pengetahuan atau sains tidaklah pula penting bagi Plotinus, maka penjelasan ilmiah tentang terjadinya dan proses alam semesta, juga tidaklah penting, baginya. Patut dicatat, paham kebersatuannya dengan Sang Pencipta itu, agak serupa dengan paham Wahdatul Wujud dan Ittihadiyah, aliran sesat Islam.

Filsuf lainnya antara lain adalah Augustinus (dikenal juga sebagai Santo Augustinus, 204-270 M, orang Numidia atau Algeria, penganut Neo-Platonisme atau Teosentris). Menurutnya, senada dengan Plato dan Plotinus, semua hal itu berpusat kepada Tuhan. Maka jika siapapun sampai berpisah dari Tuhan, berarti tidak (ada) menemukan realitas. Dan pemikiran manusia menurutnya, dapat digunakan untuk mengenali adanya kebenaran (realitas) itu.

Dan Augustinus, tidak percaya pula akan adanya Dualisme Fisik, dia tidak percaya bahwa kejahatan itu tidaklah positif, dan bahwa ada jarak dari ke-ada-an yang sebenarnya. Dan menurutnya, juga tidak ada, atau tidak benarlah prinsip Filsafat Relativisme (Yunani Kuno itu), maka seseorang justru harus yakin, yakin saja, secara mutlak, karena justru bila seseorang meragukan sesuatu, pastilah ia justru tidak meragukan sesuatu, baginya. Dan ini tidak perlu.

Di lain sisi, menurut Augustinus, jiwa adalah imaterial (tidak bersifat materi) dan berfungsi untuk: (1) Mengingat (2) Mengerti (3) Mau. Maka bagi Augustinus, ini juga adalah suatu Cosmic Trinity atau ketritunggalan alam, yang dapat dikaitkan atau mendukung dogma Trinitas. Dan mengenai roh, tak ada dunia jiwa atau roh menurutnya, entah dari mana ia mendapatkan klaim ini. Dan kemudian ia mengutuk seks, dan karenanya ia mementingkan kehidupan pertapaan a la selibat (tak menikah) pula, terutama karena mengikuti klaim tentang tak menikahnya Yesus Kristus.

Augustinus karenanya mengadaptasikan prinsip Platonisme (semua berpusat kepada Tuhan dan kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya) ke dalam ide-ide dasar Kristen berdasarkan berbagai tafsir pemikir-pemikirnya, dan membenarkan mutlak ajaran Kristen secara dogmatis (tak boleh didebati), dan meremehkan pentingnya atau peranan ilmu pengetahuan atau sains yang kritis itu, dan dengan sendirinya tentunya mementingkan iman dogmatis Kristiani. Baginya, Filsafat adalah Agama atau Hati, dan potensi pemikiran manusia digantinya mutlak dengan iman (mutlak secara dogmatis). Ilmu-pengetahuan tidak penting baginya.

Terlepas dari itu semua, kiranya dapat cukup melelahkan dan membingungkanlah untuk mencoba memahami jalan pikiran dan klaim dua makhluk Allah subhanahu wa ta’aala yang bernama Plotinus dan Augustinus ini. Keduanya menghasilkan pemikiran sesat yang diikuti banyak masyarakat Kristiani di masa itu yang bahkan warisan pemikirannya masih dapat dirasakan saat ini, bahkan di kalangan non-Kristiani. Dan tak pelak, salah satu hasilnya, kiranya yang terpenting, setidaknya adalah kecenderungan penjauhan terhadap potensi akal pemikiran dan eksplorasi ilmu-pengetahuan, yana dengan sendirinya, adalah juga kebiasaan berpikir kritis.

Sebagai catatan, ada satu kesamaan yang kiranya tak mengherankan tentang ini semua (yakni pemikiran Plotinus dan Augustinus) dengan prinsip aliran Wahdatul Wujud dan Ittihadiyah (paham kebersatuan dengan Tuhan) dalam khazanah firqotul Islam (perpecahan Islam) kemudian yang digolongkan para Ulama Islam sebagai aliran sesat Islam, jika saja kita menyadari konsekuensi dalam sejarah bahwa mereka sangat mungkin sekali belajar dari sumber-sumber yang sama dan kemudian pada gilirannya juga dapat saling mempengaruhi, terlepas dari salah-kontroversialnya paham ini dalam Islam sendiri.
Lalu nama yang tak kalah menonjolnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M) yang berasal dari Italia.

Aquinas adalah anggota dari Ordo Dominican, yang merupakan lawan hebat dari Ordo Fransiscan yang saat itu mendominasi dunia Kristen.

Dia sedikit memberikan ’titik terang’ akan adanya cahaya kebenaran, dengan banyak sekali membicarakan Agama (telaah iman-hati dan perasaan), namun juga membicarakan ’lawannya’, yaitu telaah pemikiran Filsafat (telaah akal dan ilmu pengetahuan), dan dengan sendirinya juga mencoba mencari titik temu keseimbangan antara unsur Akal dan Hati itu.

Dan mengenai ini, boleh dikatakan bahwa Aquinas melakukannya dengan sangat gigih, menentangi sejawatnya mayoritas kaum Gereja di masa itu. Karena kecenderungan ini pulalah, Aquinas sangat dibenci oleh para Filsuf terkemuka Kristiani Abad Pertengahan yang justru mengedepankan pemanfaatan Hati atau iman (perasaan) dogmatis Kristiani semata-mata dan dengan sendirinya juga merendahkan pemikiran serta ilmu-pengetahuan atau sains, satu hal yang disadari Aquinas adalah penting.

Menilik ajarannya sendiri, materi (matter) menurut Aquinas, tidak dapat terpisah dari bentuk (form). Raga atau badan ini, menghadirkan matter atau materi, dan jiwa itu menghadirkan form atau prinsip hidup aktual, maka kesatuan dari keduanya tentulah menurutnya diperlukan, untuk kesempurnaan manusia, sementara manusia sendiri adalah makhluk yang berakal maka eksistensi Tuhan baginya dapat diketahui menggunakan Akal (saja).

Etika tertinggi baginya maka, adalah Kebaikan Tertinggi di hari nanti (setelah kehidupan ini), dan dasarnya adalah kemurahan hati. Ia dikenal juga menyetujui kehidupan pertapaan (termasuk selibat atau tidak menikah), dan dasar pemerintahan dari negara adalah landasan moral (Kristiani), baginya.

Maka inti dari lima argumen Aquinas dalam bukunya yang fenomenal pada jamannya berjudul “Summa Teologica”, adalah bahwa:

Alam selalu bergerak
Ada suatu sebab yang mencukupi (efficient cause)
Ada argumen kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity)
Ada tingkatan-tingkatan pada alam
Ada keteraturan alam

Aquinas dianggap sebagi pembaharu Kristen dan Gereja pada jamannya, di masa menjelang akhir Abad Pertengahan, yang juga mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam dunia Kristen, terutama tentang mulai hidupnya lagi penggunaan Akal setelah pada awal dan pertengahan dari masa Abad Pertengahan atau Abad Kegelapan. Hal itu menjadi suatu hal yang asing dan tabu karena dikalahkan oleh dogma keyakinan atau iman Kristiani mutlak yang bersemboyankan ”Credo et intelligam” itu. Warisan idenya masih terasakan bahkan dijalankan hingga saat ini.

Banyaknya sekolah umum dan lembaga pendidikan dalam lingkup agama Kristen di mana-mana saat ini, juga antara lain adalah hasil dari warisan idenya. Eksplorasi ilmu-pengetahuan dalam dunia Kristen menjadi marak, apalagi jika dibandingkan saat Abad Pertengahan.

Ini sebenarnya, jika hendak jujur, apalagi dalam disiplin Kristiani dan dari sudut pandang Kristen Abad Pertengahan, adalah suatu hal yang ironis, mengingat tradisi panjang agama Kristen dan ajarannya memandang dengan sangat curiga terhadap ilmu-pengetahuan dan sains Sekuler (demikian pula kaum Sekuler terhadap kaum agamawan Kristen khususnya) dalam permusuhan panjang Gereja dan kaum Cendekiawan (misalnya antara Gereja dan Galileo), juga bahwa ajaran dan Kitab Sucinya sangat banyak yang bertentangan dengan akal sehat serta ilmu-pengetahuan Sains.

Kita patut mengingat pula bahwa secara tradisional Kristen (terutama selama Abad Pertengahan), pendidikan diperuntukkan hanya bagi orang atau kalangan ‘atas’ saja, yang memerlukan ijin penafsiran dari kalangan yang dianggap berotoritas dalam Gereja.

Dan menarik pula kiranya bahwa menurut Sejarawan Gudisalvus, ternyata dalam melakukan pembaharuan Barat dan Gereja menuju kebebasan berpikir ini, Aquinas banyak sekali menyerap pemikiran Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyid adalah ilmuwan dan Filsuf besar Islam yang terkenal akan kebebasan berpikir (namun yang tetap dalam keimanan yang dalam hal ini adalah Islam) di masa itu, yang pengaruh ajarannya mendunia, dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai latar-belakang kehidupan (termasuk dari berbagai latar-belakang agama).

Maka pada Aquinas, kekuatan Pikiran atau Akal dan Iman atau Hati tidaklah bertentangan baginya, lain daripada klaim Plotinus, Augustinus, Anselmus, Bacon, Groseteste, Albert, dan sebagainya.

Tetapi bagi Aquinas, belumlah jelas pula, sayangnya, di mana letak batas antaranya, atau setidaknya saja juga mengapa harus ada batas antara keduanya atau bahkan mengapa tak perlu ada batas antara keduanya. 
TELAAH DASAR PAHAM ABAD PERTENGAHAN AHLUL KITAB BERDASARKAN PAHAM YAHUDI DAN KRISTEN KATOLIK


Karena pada tahap Abad Pertengahan (Masehi) ini akidah Kristen mendominasi, maka penting pulalah kiranya untuk mengenali dasar-dasar religiusnya.

Dan berikut ini adalah ringkasan tentang akidah, sejarah, dan Filsafat Kristen dasar beserta pendahulunya, Yahudi.

Dimulai dari telaah paham Yahudi yang menjadi dasar akidah di Kitab Injil Perjanjian Lama:


YAHUDI

Tentang Sejarah Yahudi dan Injil Perjanjian Lama yang menjadi bagian penting dari Injil:

Para ahli dan bahkan penganut agama Yahudi dan Kristen yang mengetahui sejarah dan mau bersikap jujur-kritis, sebenarnya sudah banyak yang mengakui bahwa kitab Taurat yang ada sekarang, yang kaum mayoritas dari mereka sucikan sekarang ini, ternyata bukanlah salinan langsung dan asli dari Taurat yang diberikan oleh Tuhan Semesta Alam kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam (di Injil dikenal sebagai Moses).

Ini hanyalah sebuah kitab yang ditulis oleh generasi Israel yang hidup ratusan tahun setelah masa kehidupan Nabi Musa ‘alaihis salaam.

Nabi Musa ‘alaihis salaam sendiri memang diketahui telah menuliskan Taurat pada Loh Batu, dan dimasukkan ke dalam Tabut, yang antara lain tentang ini juga dimaktubkan dalam Injil Keluaran 24:12, 25:21, 35:12, 34:1-4.

Dan, sepuluh Perintah Tuhan Kitab Taurat Musa itu ada pada Injil kitab Ulangan 5:7-21:

Jangan ada padamu Tuhan lain di hadapanKu
Jangan membuat patung yang menyerupai apapun yang dilangit atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air dibawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya, atau beribadah kepadanya.
jangan menyebut nama Tuhan, Allohmu, dengan sembarangan
tetaplah ingat dan kuduskan hari Sabat (Sabtu)
hormatilah ayahmu dan ibumu
jangan membunuh
jangan berzinah
jangan mencuri
jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu
jangan mengingini istri sesamamu dan harta-harta mereka


Sebab utama dari ketidakaslian ini dapat ditelusuri dalam rangkaian fakta sejarah, dan dimulai setidaknya saat setelah wafatnya Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam (di Injil dikenal sebagai Solomon atau Schlomo atau Salomo), Nabi besar Yahudi, Kristen, dan Islam, pada tahun 992 SM (Sebelum Masehi), saat kerajaannya terpecah-belah menjadi dua bagian besar:

Kerajaan Bagian Utara, bernama Kerajaan Israel, yang terdiri dari 10 suku Israel, dibawah pimpinan Raja Yerobeam (lihat Injil I Raja-raja 13:33, 14:20) dan ibukotanya berpindah-pindah dari Sikhem, Pnuel, Tirza dan akhirnya Samaria (lihat Injil I Raja-raja 12:25a, 12:25b, 14:17, 16:24,29).

Elohim adalah nama Tuhan dari Kerajaan Israel Utara.

Kerajaan Bagian Selatan, bernama Kerajaan Yehuda, yang terdiri dari 2 suku Yahudi, dan rajanya bernama Rehabeam (lihat Injil I Raja-raja 14:21-31) dengan ibukota Yerusalem.

Yerusalem (atau ”Daarussalaam”, kota yang disucikan Islam, Kristen dan Yahudi) dan kota para Nabi selain Makkah, adalah tempat menyimpan tabut berisikan kitab Taurat di masa ini.

Dan Jahweh atau Yahweh atau Yehova adalah nama dari Tuhan Kerajaan Israel Selatan dari suku Yehuda dan Benyamin ini.


Namun raja Israel, Yerobeam, tidak senang dan tidak setuju menjadikan Yerusalem sebagai pusat peribadatan, walaupun tabut Musa ‘alaihis salaam ada di sana, dan ia memilih kota Betel dan Dan sebagai pusat peribadatan baru. Ia pun mendirikan patung anak lembu dari emas sebagai obyek peribadatan mereka (Injil I Raja-raja 12:26-33), sebagai lambang dewa kesuburan.

Ini sekaligus membuat Israel kembali menyembah berhala (Injil I Raja-raja 13:34, 15:30,34; II Raja-raja 10:29, 13:6, 14:24, 17:22).

Penyembahan berhala ini juga membuat kemelut di kalangan rakyat Israel sendiri, dan mencapai puncaknya pada masa Raja Ahab.

Nabi Elia dikenal menentang keras penyembahan itu, sedangkan istri dari raja Ahab itu, yang bernama Ratu Izebel, justru secara terang-terangan mempopulerkan penyembahan berhala yang bernama Baal.

Dan di antara unsur dari bentuk peribadatannya, adalah melakukan persundalan (perzinahan) yang dilakukan di dalam kuil-kuil dewa, dan berbagai bentuk peribadatan berupa perilaku seksual yang tentu saja justru sangat bertentangan dengan hukum Taurat.

Benarlah:

Dunia ini cantik dan hijau. Sesungguhnya Allah menjadikan kamu kholifah dan Allah mengamati apa yang kamu lakukan, karena itu jauhilah godaan perempuan dan dunia. Sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah godaan kaum perempuan. (HR. Ahmad)


Maka tentulah saja lama-kelamaan mereka melupakan ajaran Taurat.

Alloh subhanahu wa ta’aala kemudian menakdirkan bahwa, Raja bangsa Asyur atau Asyuria (yaitu wilayah Syria saat ini) yang bernama Raja Sargon II, dapat menghancurkan Kerajaan Utara (Israel) pada tahun 722 SM, dan sekitar 27.290 penduduk Israel dari golongan menengah-atas, dibuang (Injil I Raja-raja 14:15, 17:18; II Raja-raja 17:5-6).

Penduduk bangsa lain dipindahkan pula ke negeri Israel, sehingga terjadilah asimilasi ras keturunan maupun kepercayaan karenanya.

Kerajaan Selatan (Yehuda) pun tak luput dari serangan penguasa lain. Pada tahun 586 SM, Kerajaan Yehuda diserbu oleh Raja Nebukadnezar dari Kerajaan Babylonia (Iraq-Iran) dan tempat-tempat ibadah Yahudi serta tabut berisi Taurat Musa pun hancur pula karenanya. Semua pejabat dan rakyatnya digiring ke Babylonia, kecuali yang sakit, miskin, dan cacat (Injil II Raja-raja 25:1-21).

Di negeri pembuangan ini, terjadilah kawin campur orang-orang Yahudi dengan penduduk setempat sehingga terjadilah pula asimilasi keturunan maupun kepercayaan, bahkan akhirnya mereka tidak lagi mengerti bahasa ibunya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar