Me

Me

Rabu, 16 Mei 2012

life

LIFE IS MISTERY.
hari sabtu adalah hari yang begitu indah. di hari itu aku mengajar salah satu sekolah swasta di daerahku.
senang rasanya bisa berjumpa dengan para muridku setelah satu 5 hari tidak ketemu.
candaan dan gurauan pun tumpah dengan para guru. duduk santai sambil menyeruput secangkir kopi ditemani sebatang rokok menambah kemeriahan diruangan itu.
sabtu itu hari yang takkan pernah kulupakan. dihari itu pula aku sendiri dengan sadar dan tidak telah melalaikan tugasku sebagai seorang pendidik. mungkin gara-gara itu plalalh aku diingatkan oleh tuhan.
let me tell you.
aku pulang dari sekolah sekitar jam 10.30. rencananya hari itu juga kuingin mampir kerumah seoarang teman.
jam 11.00 saya sudah tiba disana. singakt cerita, sepulang dari tempat itu i got accident. my motorcycle was crashed. fortunately i was fine. only my motor was broken.
yeah...life is mistery. i do not feel taht i'll get the accident. it becomes my warning to do the job well adn responsible. thanks GOD, YOU HAVE WARNED ME.

Kamis, 26 Mei 2011

tebak-tebakan

di bawah ini ada beberapa tebakan yang bisa di gunakan teman-teman tuk refresh your mind or other people.

1. mengapa anak kodok sukanya lompat-lompat?
  jawab: namanya juga anak-anak jadinya sukanya lompat-lompat hehehe
2. mengapa perampok suka bawa pisau?
  jawab: kalo bawa lemari terlalu berat wkwkwk
3. mengapa orang takut hujan?
jawab: karena hujan datangnya keryokan, coba datangnya satu-satu kan kita bisa menghindar
4. cilik mlete sopo hayo?
jawab: awakmu hahaha
empat saja dulu, tar di tambahin lagi...

Kamis, 17 Februari 2011

seri telaah kristen

TELAAH SINGKAT PEMIKIRAN DAN KEIMANAN AHLUL KITAB ABAD PERTENGAHAN (AWAL MASEHI HINGGA SEKITAR ABAD XIV MASEHI MEDIEVAL ATAU DARK AGES)

ABAD KEGELAPAN

Berlanjut ke apa yang kemudian dinamakan Jaman Abad Pertengahan yang berlangsung lama, lebih-kurang selama lima belas Abad, dari sekitar Abad I sampai Abad XV M. Mas ini disebut juga sebagai Era atau masa Medieval atau juga Abad Kegelapan atau Dark Ages) dan dimulai setelah masa Nabi Isa bin Maryam ‘alaihis salaam menapakkan kaki di muka Bumi dan berdakwah.

Beliau dikenal juga sebagai Isa bin (anak) Maryam, yang dengan sejumlah perkecualian dan catatan perbedaan mendasar adalah hampir dapat dikenal sama juga sebagai Yesus Kristus atau Yesus dari Nazareth dalam khazanah Kristen.

Kegemparan akan datangnya ’Yesus dari Nazareth’ yang tak memiliki ayah dan nasabnya ditahbiskan kepada Maryam (Maria), ibunya, dan dalam hidup singkatnya menampilkan berbagai mukjizat luar-biasa itu, mengguncang peradaban manusia di sekitarnya saat itu, dan banyak orang yang kemudian berspekulasi akan kenyataan ini.

Di masa ini, lahir pula agama Kristen, dan ide-idenya mendominasi relung kehidupan masyarakat Eropa dan pengikutnya, termasuk para Pemikirnya. Dan wajah peradaban Barat pada Abad Pertengahan ini, karenanya, didominasi oleh Filsafat Kristen.

Filsafat Kristen atau Abad Pertengahan ini, antara lain bertokohkan Filsuf Plotinus, (Santo atau Saint) Augustinus atau Augustine, (Saint) Anselmus, Robert Grosseteste, Roger Bacon, Albert Agung, Thomas Aquinas, dsb.; yang kesemuanya sepakat mengedepankan iman dogmatis (tak boleh dibantahi) Kristiani, dan telaahnya pun bersifat religius-dogmatis, akibat pengaruh hebat dan dominan Agama Kristen yang didominasi oknum kaum Gerejawan dan Monarki Baratnya, dengan segala ragam tafsir dogmatisnya.

Dan tak pelak pemanfaatan Platonisme a la Yunani Kuno (dicetuskan Plato) yang mengajarkan bahwa kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan namun berjenis dan berbungkus baru, yang disebut sebagai Neo-Platonisme, menjadi gencar dan ditahbiskan sepenuhnya tanpa telaah kristis kepada iman Kristiani. Ini, mau tak mau mendukung pula klaim dogmatis akan kebenaran Kristen.

Para ahli Filsuf dan Agamawan mereka di saat itu karenanya teguh bermottokan ”Credo et intelligam”, atau ”Keyakinan (keimanan agama) berkedudukan di atas pemikiran (logika), keyakinan mengungguli pemikiran” atau lebih mudahnya, ”Yakini dulu sesuatu, baru carikan alasan untuk menjelaskannya”.

Maka, dengan sendirinya, Akal (di Barat) benar-benar kalah pada masa ini (terutama terlihat pada isi Filsafat dari Plotinus, Augustinus, Anselmus). Bahkan potensi pemanfaatan akal diganti mutlak oleh Augustinus dengan Iman dogmatis, sebelum penghargaan terhadap potensi Akal sempat muncul kembali kemudian pada masa Thomas Aquinas di akhir masa Abad Pertengahan itu.

Dan karenanya pula, Aquinas kemudian ditentangi hebat dan dibenci sebagian besar masyarakat Gereja yang terlanjur menjadi pendukung jalur Hati, iman Kristiani, yang dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah iman mutlak dogmatis a la Kristiani, tak mengindahkan telaah kritis akal.

Ini juga tak pelak menyebabkan masyarakat Barat di masa itu secara luas menjadi percaya dan beriman dogmatis akan ‘rasa hati’ (atau yang adalah agama, Kristen, lebih tepatnya Kristen Katolik, bagi mereka), karena menurut mereka, Agama adalah rasa hati dan Filsafat adalah pemikiran. Filsafat dan Agama itu sendiri, satu hal yang di masa sesudahnya, terutama masa Thomas Aquinas, dicoba untuk disatu-padukan namun menemui sejumlah kendala sampai masa Modern merebak.

Keyakinan Ksritiani yang mendominasi di masa Abad Pertengahan ini, menjadikannya tidak boleh atau tidak mudah untuk dapat dikritiki, sekaligus membuat kedudukan mereka yang berada dalam struktur otoritas agamanya menjadi tinggi, dan tak dapat disalahkan. Dan karenanya ini juga membuat mereka makmur secara ekonomi, juga sebagai pemegang mandat negara, dengan mandat Otokrasi dan Teokrasi Kristiani.

Dan kenyataan ini bagi sebagian orang lain, misalnya rakyatnya yang mereka pimpin, artinya juga adalah kesemena-menaan yang diorganisasikan.

Kekuasaan absolut negara dan pusat-pusat kesejahteraan masyarakat saat itu dipegang mutlak oleh Gereja dan Kerajaan, dengan pajak sistem Feodalisme berdasarkan tafsir mereka terhadap iman Kristiani dan bahwa Gereja adalah wakil Tuhan di Bumi dan bahwa sistem pemerintahan yang terbenar adalah Kerajaan Kristiani penyokongnya. Golongan Ksatria, dan Raja, adalah pelindung rakyat, dan rakyat harus membayar pajak kepada mereka, yang penafsirannya seringkali dianggap semena-mena oleh rakyat.

Tak pelak juga, maka, perkembangan ilmu-pengetahuan yang biasanya berdasarkan kepada gelitikan pemikiran, rasa penasaran, kebertanya-tanyaan, pemikiran, pun menjadi lambat pula. Pendeknya, potensi telaah Akal pada masa ini, dihambati.

Ada pula pada masa ini yang disebut sebagai Lembaga Inkuisisi Gereja, yang pada awalnya hanya mengisolasikan, membersihkan, menghukum (dan kalau perlu menyiksai dan membantai) orang Kristen yang dianggapnya kafir (artinya yang dianggap tak sejalan dengan pendapat Gereja), pendeknya terhadap mereka yang menodai, menentangi ajaran Gereja.

Dan ini terjadi terutama terhadap mereka yang termasuk di dalamnya adalah terhadap kaum Homoseksual, kaum Lesbian, mereka yang dianggap sebagai Penyihir, orang-orang yang mungkin sebenarnya adalah penderita penyakit tertentu yang di masa itu belum terjelaskan, atau bahkan terhadap para Penemu atau Ilmuwan yang metodanya tak dapat dipercaya kaum petinggi Gereja pada masanya (misalnya apa yang Gereja jatuhkan terhadap Galileo Galillei), dan sebagainya.

Namun tujuan dan sasaran Inkuisisi Gereja ini kemudian juga meluas menjadi pemusnahan massal terhadap Muslim dan Yahudi yang hidup di Eropa di masa itu juga (yang tentu saja, dalam pandangan Gereja saat itu, kaum Muslimin dan Yahudi jelas adalah orang-orang Kafir dan karenanya tak perlu kiranya dibiarkan hidup mengotori dunia mereka).

Inkuisisi Eropa ini kemudian (khususnya di Spanyol), juga dengan sendirinya menjadikan wilayah Muslim Kekhalifahan Barat di Spanyol dan Portugal (serta di wilayah yang tak seberapa jauh, para muslim yang bermukim di Sisilia), menjadi wilayah Eropa Kristen-Katholik kembali. Dan pembantaian massal ini, berpuncak di sekitar tahun 1491 M.

Yang menarik kiranya, bukan kebetulan pula, tahun ini adalah sekitar satu tahun sebelum Christophorus Columbus berlayar dari Spanyol mencari dunia dan sumber kekayaan baru pada tahun 1492 M, dengan direstui Raja dan Ratu Spanyol yang telah memimpin proses Inkuisisi akhir itu (Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol) dan merebut Spanyol dari kaum muslim; untuk secara tak sengaja kemudian menemukan Benua Amerika, ’Dunia Baru’ itu.

Maka akidah umumnya sendiri di saat itu, didasarkan penuh kepada berbagai persangkaan pemikiran yang didapatkan dari berbagai (puluhan, ada yang menyebut sekitar empat puluh lima, ada yang menyebut sekitar tujuh puluh) versi Injil yang beredar saat itu dengan berbagai penafsirannya, yang kemudian dipilahi menjadi empat Injil (Injil Kanonik).
Dan termasuk di dalamnya adalah pemahaman bahwa Yesus dari Nazareth adalah Tuhan dan Anak Tuhan (yang sekaligus berarti oknum Tuhan ada tiga seluruhnya yang disebut sebagai ajaran Trinitas yaitu terdiri dari tuhan Bapa, Anak, Roh Kudus, hasil Konsili Gereja Chalcedon sekitar empat ratus tahun setelah Nabi Isa AS tidak ada di muka Bumi), lalu meyakini bahwa cara hidup selibat (tidak menikah) a la pertapaan Gereja adalah terbaik agar dapat menjadi dekat dengan Tuhan, juga bahwa kekuasaan tertinggi haruslah dipegang oleh Gereja (dan sistem Monarki-Teokrasi Kristiani), dan sebagainya yang menjadi pengejawantahan cara hidup sehari-hari mereka.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya peminjaman atau pengaruh Neo-Platonisme pada tahap perkembangan Kristen dan Filsafatnya kemudian di masa ini, menjadi dominan dan mendasari pendoktrinan-pendogmaan Kristen pula.

Namun juga ditemukan di kalangan minoritas Barat saat itu, pengaruh Filsafat yang mendasarkan pengandalan telaah pemikiran atau Akal a la Aristoteles, misalnya dengan adanya pemahaman kritis dalam deduksi logis (argumen intelektual), walaupun ini tak banyak. Juga ada Stoisisme (kesabaran dan penguasaan diri). Lalu ditemui adanya pengaruh tradisi Yahudi (dari Filsuf Philo), misalnya tentang penggunaan Alegori (kiasan), telaah kemahakuasaan Tuhan, tentang penciptaan, tentang Teokrasi (pemerintahan yang didasarkan kepada agama), dsb.

Golongan Apologis atau Apologetik (pencari alasan untuk pembenaran sesuatu) pun, anehnya (atau malahan justru), mulai menggunakan Filsafat Yunani (Filsafat Relativisme, bahwa ”Kebenaran itu relatif”) pula, untuk dapat membela kebenaran Injil (dengan berbagai argumen yang benar secara relatif). Dan karenanya kaum ini juga berlindung di balik berbagai argumen membingungkan, antara lain yakni menggunakan berbagai argumen akan kebenaran yang relatif itu.

Di luar itu, namun masih berkaitan pula dengannya, mulai populer pulalah istilah Logos atau firman, oleh Filsuf Clements, sebagai sarana (perantara) Tuhan (yang dianggap berada di luar ruang dan waktu), untuk berhubungan dengan manusia (yang berada di dalam ruang dan waktu).



PARA FILSUF ABAD PERTENGAHAN


Filsuf pada masa ini yang kiranya paling menonjol dan ajarannya mendasari peradaban Kristen di masa itu (dan sisanya di masa kini), adalah Filsuf Plotinus (204-270 M, orang Mesir, penganut Neo-Platonisme atau Teosentris) yang dikenal dengan konsepnya, Filsafat Metafisika, dengan konsep Transedens.

Konsep Transedens ini, meyakini bahwa sesungguhnya ada tiga realitas di dunia ini, yakni The One atau Tuhan, The Mind atau Nous atau ide-ide obyek, dan The Soul atau satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Dan teori ini dapat diperdebatkan pula sebagai serupa tapi tak sama dengan, atau setidaknya menyumbangkan pemikiran pendukung akan Dogma tentang Trinitas (yang diresmikan kemudian di berbagai Konsili Gereja sesudah masa Plotinus).

Trinitas sendiri adalah pemahaman para rohaniwan dan pemikir Kristen bahwa Tuhan itu sesungguhnya terdiri dari tiga oknum tuhan, tiga oknum kebenaran, yang walaupun berbeda dapat benar dan nyata secara bersamaan; yaitu oknum tuhan Bapa, oknum tuhan Anak, dan oknum tuhan Ruh Kudus.

Benih pemikirannya diperkenalkan Theopilus pada tahun 180 M, terutama dengan mengikuti pendapat-pendapat Paulus dari Tarsus (dikenal juga sebagai Saulus atau kemudian populer disebut sebagai Paul). Sebagai catatan, dogma Trinitas sendiri memang mulai semakin mengkristal di masa Plotinus ini, namun juga ditentangi kaum Kristiani minoritas sendiri (misalnya mereka yang masih termasuk keluarga Yesus dari Nazareth di masa itu) bahkan sampai saat ini yang tak mau menerima paham “tiga tuhan namun satu” atau “Three in One” ini.

Filsuf Plotinus itu kemudian juga membuat Teori Emanasi, bahwa dengan banyaknya makhluk yang ada di alam semesta ini, tidak lantas berarti bahwa di dalam Yang Esa itu ada pengertian (tentangnya dan jumlahnya) yang banyak pula. Menurutnya, Tuhan itu tidaklah sebanyak makhluk (tentu saja), dan alam ini diciptakan melalui suatu proses yang dinamakan Emanasi. Dan “The One” itu sendiri dalam berbagai proses ini, tidaklah berubah, serta penciptaan itu tidak berada dalam kerangka ruang dan waktu yang justru diciptakan (-Nya) kemudian.

Apapun juga, penting pula disebutkan bahwa tujuan utama dari aliran Filsafat a la Plotinus ini adalah untuk dapat bersatu-padu dengan Tuhan, antara lain melalui penginderaan tentang alam, menuju jiwa Ilahiah Penting pula dicatat kiranya, bahwa keberadaan Ilmu-pengetahuan atau sains tidaklah pula penting bagi Plotinus, maka penjelasan ilmiah tentang terjadinya dan proses alam semesta, juga tidaklah penting, baginya. Patut dicatat, paham kebersatuannya dengan Sang Pencipta itu, agak serupa dengan paham Wahdatul Wujud dan Ittihadiyah, aliran sesat Islam.

Filsuf lainnya antara lain adalah Augustinus (dikenal juga sebagai Santo Augustinus, 204-270 M, orang Numidia atau Algeria, penganut Neo-Platonisme atau Teosentris). Menurutnya, senada dengan Plato dan Plotinus, semua hal itu berpusat kepada Tuhan. Maka jika siapapun sampai berpisah dari Tuhan, berarti tidak (ada) menemukan realitas. Dan pemikiran manusia menurutnya, dapat digunakan untuk mengenali adanya kebenaran (realitas) itu.

Dan Augustinus, tidak percaya pula akan adanya Dualisme Fisik, dia tidak percaya bahwa kejahatan itu tidaklah positif, dan bahwa ada jarak dari ke-ada-an yang sebenarnya. Dan menurutnya, juga tidak ada, atau tidak benarlah prinsip Filsafat Relativisme (Yunani Kuno itu), maka seseorang justru harus yakin, yakin saja, secara mutlak, karena justru bila seseorang meragukan sesuatu, pastilah ia justru tidak meragukan sesuatu, baginya. Dan ini tidak perlu.

Di lain sisi, menurut Augustinus, jiwa adalah imaterial (tidak bersifat materi) dan berfungsi untuk: (1) Mengingat (2) Mengerti (3) Mau. Maka bagi Augustinus, ini juga adalah suatu Cosmic Trinity atau ketritunggalan alam, yang dapat dikaitkan atau mendukung dogma Trinitas. Dan mengenai roh, tak ada dunia jiwa atau roh menurutnya, entah dari mana ia mendapatkan klaim ini. Dan kemudian ia mengutuk seks, dan karenanya ia mementingkan kehidupan pertapaan a la selibat (tak menikah) pula, terutama karena mengikuti klaim tentang tak menikahnya Yesus Kristus.

Augustinus karenanya mengadaptasikan prinsip Platonisme (semua berpusat kepada Tuhan dan kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya) ke dalam ide-ide dasar Kristen berdasarkan berbagai tafsir pemikir-pemikirnya, dan membenarkan mutlak ajaran Kristen secara dogmatis (tak boleh didebati), dan meremehkan pentingnya atau peranan ilmu pengetahuan atau sains yang kritis itu, dan dengan sendirinya tentunya mementingkan iman dogmatis Kristiani. Baginya, Filsafat adalah Agama atau Hati, dan potensi pemikiran manusia digantinya mutlak dengan iman (mutlak secara dogmatis). Ilmu-pengetahuan tidak penting baginya.

Terlepas dari itu semua, kiranya dapat cukup melelahkan dan membingungkanlah untuk mencoba memahami jalan pikiran dan klaim dua makhluk Allah subhanahu wa ta’aala yang bernama Plotinus dan Augustinus ini. Keduanya menghasilkan pemikiran sesat yang diikuti banyak masyarakat Kristiani di masa itu yang bahkan warisan pemikirannya masih dapat dirasakan saat ini, bahkan di kalangan non-Kristiani. Dan tak pelak, salah satu hasilnya, kiranya yang terpenting, setidaknya adalah kecenderungan penjauhan terhadap potensi akal pemikiran dan eksplorasi ilmu-pengetahuan, yana dengan sendirinya, adalah juga kebiasaan berpikir kritis.

Sebagai catatan, ada satu kesamaan yang kiranya tak mengherankan tentang ini semua (yakni pemikiran Plotinus dan Augustinus) dengan prinsip aliran Wahdatul Wujud dan Ittihadiyah (paham kebersatuan dengan Tuhan) dalam khazanah firqotul Islam (perpecahan Islam) kemudian yang digolongkan para Ulama Islam sebagai aliran sesat Islam, jika saja kita menyadari konsekuensi dalam sejarah bahwa mereka sangat mungkin sekali belajar dari sumber-sumber yang sama dan kemudian pada gilirannya juga dapat saling mempengaruhi, terlepas dari salah-kontroversialnya paham ini dalam Islam sendiri.
Lalu nama yang tak kalah menonjolnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M) yang berasal dari Italia.

Aquinas adalah anggota dari Ordo Dominican, yang merupakan lawan hebat dari Ordo Fransiscan yang saat itu mendominasi dunia Kristen.

Dia sedikit memberikan ’titik terang’ akan adanya cahaya kebenaran, dengan banyak sekali membicarakan Agama (telaah iman-hati dan perasaan), namun juga membicarakan ’lawannya’, yaitu telaah pemikiran Filsafat (telaah akal dan ilmu pengetahuan), dan dengan sendirinya juga mencoba mencari titik temu keseimbangan antara unsur Akal dan Hati itu.

Dan mengenai ini, boleh dikatakan bahwa Aquinas melakukannya dengan sangat gigih, menentangi sejawatnya mayoritas kaum Gereja di masa itu. Karena kecenderungan ini pulalah, Aquinas sangat dibenci oleh para Filsuf terkemuka Kristiani Abad Pertengahan yang justru mengedepankan pemanfaatan Hati atau iman (perasaan) dogmatis Kristiani semata-mata dan dengan sendirinya juga merendahkan pemikiran serta ilmu-pengetahuan atau sains, satu hal yang disadari Aquinas adalah penting.

Menilik ajarannya sendiri, materi (matter) menurut Aquinas, tidak dapat terpisah dari bentuk (form). Raga atau badan ini, menghadirkan matter atau materi, dan jiwa itu menghadirkan form atau prinsip hidup aktual, maka kesatuan dari keduanya tentulah menurutnya diperlukan, untuk kesempurnaan manusia, sementara manusia sendiri adalah makhluk yang berakal maka eksistensi Tuhan baginya dapat diketahui menggunakan Akal (saja).

Etika tertinggi baginya maka, adalah Kebaikan Tertinggi di hari nanti (setelah kehidupan ini), dan dasarnya adalah kemurahan hati. Ia dikenal juga menyetujui kehidupan pertapaan (termasuk selibat atau tidak menikah), dan dasar pemerintahan dari negara adalah landasan moral (Kristiani), baginya.

Maka inti dari lima argumen Aquinas dalam bukunya yang fenomenal pada jamannya berjudul “Summa Teologica”, adalah bahwa:

Alam selalu bergerak
Ada suatu sebab yang mencukupi (efficient cause)
Ada argumen kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity)
Ada tingkatan-tingkatan pada alam
Ada keteraturan alam

Aquinas dianggap sebagi pembaharu Kristen dan Gereja pada jamannya, di masa menjelang akhir Abad Pertengahan, yang juga mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam dunia Kristen, terutama tentang mulai hidupnya lagi penggunaan Akal setelah pada awal dan pertengahan dari masa Abad Pertengahan atau Abad Kegelapan. Hal itu menjadi suatu hal yang asing dan tabu karena dikalahkan oleh dogma keyakinan atau iman Kristiani mutlak yang bersemboyankan ”Credo et intelligam” itu. Warisan idenya masih terasakan bahkan dijalankan hingga saat ini.

Banyaknya sekolah umum dan lembaga pendidikan dalam lingkup agama Kristen di mana-mana saat ini, juga antara lain adalah hasil dari warisan idenya. Eksplorasi ilmu-pengetahuan dalam dunia Kristen menjadi marak, apalagi jika dibandingkan saat Abad Pertengahan.

Ini sebenarnya, jika hendak jujur, apalagi dalam disiplin Kristiani dan dari sudut pandang Kristen Abad Pertengahan, adalah suatu hal yang ironis, mengingat tradisi panjang agama Kristen dan ajarannya memandang dengan sangat curiga terhadap ilmu-pengetahuan dan sains Sekuler (demikian pula kaum Sekuler terhadap kaum agamawan Kristen khususnya) dalam permusuhan panjang Gereja dan kaum Cendekiawan (misalnya antara Gereja dan Galileo), juga bahwa ajaran dan Kitab Sucinya sangat banyak yang bertentangan dengan akal sehat serta ilmu-pengetahuan Sains.

Kita patut mengingat pula bahwa secara tradisional Kristen (terutama selama Abad Pertengahan), pendidikan diperuntukkan hanya bagi orang atau kalangan ‘atas’ saja, yang memerlukan ijin penafsiran dari kalangan yang dianggap berotoritas dalam Gereja.

Dan menarik pula kiranya bahwa menurut Sejarawan Gudisalvus, ternyata dalam melakukan pembaharuan Barat dan Gereja menuju kebebasan berpikir ini, Aquinas banyak sekali menyerap pemikiran Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyid adalah ilmuwan dan Filsuf besar Islam yang terkenal akan kebebasan berpikir (namun yang tetap dalam keimanan yang dalam hal ini adalah Islam) di masa itu, yang pengaruh ajarannya mendunia, dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai latar-belakang kehidupan (termasuk dari berbagai latar-belakang agama).

Maka pada Aquinas, kekuatan Pikiran atau Akal dan Iman atau Hati tidaklah bertentangan baginya, lain daripada klaim Plotinus, Augustinus, Anselmus, Bacon, Groseteste, Albert, dan sebagainya.

Tetapi bagi Aquinas, belumlah jelas pula, sayangnya, di mana letak batas antaranya, atau setidaknya saja juga mengapa harus ada batas antara keduanya atau bahkan mengapa tak perlu ada batas antara keduanya. 
TELAAH DASAR PAHAM ABAD PERTENGAHAN AHLUL KITAB BERDASARKAN PAHAM YAHUDI DAN KRISTEN KATOLIK


Karena pada tahap Abad Pertengahan (Masehi) ini akidah Kristen mendominasi, maka penting pulalah kiranya untuk mengenali dasar-dasar religiusnya.

Dan berikut ini adalah ringkasan tentang akidah, sejarah, dan Filsafat Kristen dasar beserta pendahulunya, Yahudi.

Dimulai dari telaah paham Yahudi yang menjadi dasar akidah di Kitab Injil Perjanjian Lama:


YAHUDI

Tentang Sejarah Yahudi dan Injil Perjanjian Lama yang menjadi bagian penting dari Injil:

Para ahli dan bahkan penganut agama Yahudi dan Kristen yang mengetahui sejarah dan mau bersikap jujur-kritis, sebenarnya sudah banyak yang mengakui bahwa kitab Taurat yang ada sekarang, yang kaum mayoritas dari mereka sucikan sekarang ini, ternyata bukanlah salinan langsung dan asli dari Taurat yang diberikan oleh Tuhan Semesta Alam kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam (di Injil dikenal sebagai Moses).

Ini hanyalah sebuah kitab yang ditulis oleh generasi Israel yang hidup ratusan tahun setelah masa kehidupan Nabi Musa ‘alaihis salaam.

Nabi Musa ‘alaihis salaam sendiri memang diketahui telah menuliskan Taurat pada Loh Batu, dan dimasukkan ke dalam Tabut, yang antara lain tentang ini juga dimaktubkan dalam Injil Keluaran 24:12, 25:21, 35:12, 34:1-4.

Dan, sepuluh Perintah Tuhan Kitab Taurat Musa itu ada pada Injil kitab Ulangan 5:7-21:

Jangan ada padamu Tuhan lain di hadapanKu
Jangan membuat patung yang menyerupai apapun yang dilangit atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air dibawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya, atau beribadah kepadanya.
jangan menyebut nama Tuhan, Allohmu, dengan sembarangan
tetaplah ingat dan kuduskan hari Sabat (Sabtu)
hormatilah ayahmu dan ibumu
jangan membunuh
jangan berzinah
jangan mencuri
jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu
jangan mengingini istri sesamamu dan harta-harta mereka


Sebab utama dari ketidakaslian ini dapat ditelusuri dalam rangkaian fakta sejarah, dan dimulai setidaknya saat setelah wafatnya Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam (di Injil dikenal sebagai Solomon atau Schlomo atau Salomo), Nabi besar Yahudi, Kristen, dan Islam, pada tahun 992 SM (Sebelum Masehi), saat kerajaannya terpecah-belah menjadi dua bagian besar:

Kerajaan Bagian Utara, bernama Kerajaan Israel, yang terdiri dari 10 suku Israel, dibawah pimpinan Raja Yerobeam (lihat Injil I Raja-raja 13:33, 14:20) dan ibukotanya berpindah-pindah dari Sikhem, Pnuel, Tirza dan akhirnya Samaria (lihat Injil I Raja-raja 12:25a, 12:25b, 14:17, 16:24,29).

Elohim adalah nama Tuhan dari Kerajaan Israel Utara.

Kerajaan Bagian Selatan, bernama Kerajaan Yehuda, yang terdiri dari 2 suku Yahudi, dan rajanya bernama Rehabeam (lihat Injil I Raja-raja 14:21-31) dengan ibukota Yerusalem.

Yerusalem (atau ”Daarussalaam”, kota yang disucikan Islam, Kristen dan Yahudi) dan kota para Nabi selain Makkah, adalah tempat menyimpan tabut berisikan kitab Taurat di masa ini.

Dan Jahweh atau Yahweh atau Yehova adalah nama dari Tuhan Kerajaan Israel Selatan dari suku Yehuda dan Benyamin ini.


Namun raja Israel, Yerobeam, tidak senang dan tidak setuju menjadikan Yerusalem sebagai pusat peribadatan, walaupun tabut Musa ‘alaihis salaam ada di sana, dan ia memilih kota Betel dan Dan sebagai pusat peribadatan baru. Ia pun mendirikan patung anak lembu dari emas sebagai obyek peribadatan mereka (Injil I Raja-raja 12:26-33), sebagai lambang dewa kesuburan.

Ini sekaligus membuat Israel kembali menyembah berhala (Injil I Raja-raja 13:34, 15:30,34; II Raja-raja 10:29, 13:6, 14:24, 17:22).

Penyembahan berhala ini juga membuat kemelut di kalangan rakyat Israel sendiri, dan mencapai puncaknya pada masa Raja Ahab.

Nabi Elia dikenal menentang keras penyembahan itu, sedangkan istri dari raja Ahab itu, yang bernama Ratu Izebel, justru secara terang-terangan mempopulerkan penyembahan berhala yang bernama Baal.

Dan di antara unsur dari bentuk peribadatannya, adalah melakukan persundalan (perzinahan) yang dilakukan di dalam kuil-kuil dewa, dan berbagai bentuk peribadatan berupa perilaku seksual yang tentu saja justru sangat bertentangan dengan hukum Taurat.

Benarlah:

Dunia ini cantik dan hijau. Sesungguhnya Allah menjadikan kamu kholifah dan Allah mengamati apa yang kamu lakukan, karena itu jauhilah godaan perempuan dan dunia. Sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah godaan kaum perempuan. (HR. Ahmad)


Maka tentulah saja lama-kelamaan mereka melupakan ajaran Taurat.

Alloh subhanahu wa ta’aala kemudian menakdirkan bahwa, Raja bangsa Asyur atau Asyuria (yaitu wilayah Syria saat ini) yang bernama Raja Sargon II, dapat menghancurkan Kerajaan Utara (Israel) pada tahun 722 SM, dan sekitar 27.290 penduduk Israel dari golongan menengah-atas, dibuang (Injil I Raja-raja 14:15, 17:18; II Raja-raja 17:5-6).

Penduduk bangsa lain dipindahkan pula ke negeri Israel, sehingga terjadilah asimilasi ras keturunan maupun kepercayaan karenanya.

Kerajaan Selatan (Yehuda) pun tak luput dari serangan penguasa lain. Pada tahun 586 SM, Kerajaan Yehuda diserbu oleh Raja Nebukadnezar dari Kerajaan Babylonia (Iraq-Iran) dan tempat-tempat ibadah Yahudi serta tabut berisi Taurat Musa pun hancur pula karenanya. Semua pejabat dan rakyatnya digiring ke Babylonia, kecuali yang sakit, miskin, dan cacat (Injil II Raja-raja 25:1-21).

Di negeri pembuangan ini, terjadilah kawin campur orang-orang Yahudi dengan penduduk setempat sehingga terjadilah pula asimilasi keturunan maupun kepercayaan, bahkan akhirnya mereka tidak lagi mengerti bahasa ibunya sendiri.

Senin, 17 Januari 2011

WAKTU

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tahun berganti abad dan begitu seterusnya.
Kita tak bisa menahan laju waktu yang terus berjalan. Namun apa yang kita bisa perbuat dengan waktu. Akankah kita membuangnya secara percuma, menggunakannya dengan melakukan hal-hal yang negatif atau malah membuatnya lebih bermakna dengan melakukan hal-hal positif?.
Waktu seperti pisau yang menyayat kehidupan kita apabila kita tidak menggunakannya dengan baik. Coba renungkan apa yang sudah kita perbuat sampai detik ini?sudahkah kita memanfaatkannya dengan baik?sudahkah kita melakukan hal-hal yang bermanfaat hari ini? Ingatlah sahabat, kawan, ikhwan dan saudaraku, bahwasanya waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Ingatlah bahwa udara yang kita hirup hari ini belum tentu kita hirup di esok hari. Manfaatkan waktu hari ini dengan sebaik-baiknya. Karena hari ini adalah milik anda. Belajar, membantu orang tua, menghindari kata-kata kasar, menghormati perbedaan yang ada, serta beribadah. Rasulullah bersabda dalam hadits yang intinya kurang lebih seperti ini “orang yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung, orang yang hari ini sama dengan kemarin adalah orang yang merugi dan yang terakhir, orang yang hari ini tidak lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang celaka”.
Termasuk yang manakah kita? Anda sendiri yang memutuskan. Segala yang anda lakukan adalah tanggung jawab anda sendiri yang akan dipertanggungjawabkan kelak.
Semoga sekelumit tulisan singkat ini menjadi renungan untuk diriku sendiri dan sahabat2Q sekalian.
Salam perdamaian. 

Selasa, 04 Januari 2011

Inggris sontoloyo

Dalam sebuah perjalanan pesawat dari Jakarta ke Sydney, seorang pramugari ketika
sedang melayani minuman,secara tak sengaja menumpahkan air minum ke pangkuan seorang
wanita indonesia.

Seorang pramugara lain membantu rekannya untuk mengatasi persoalan itu.
Sang wanita dengan galaknya menghardik (dalam bahasa inggris): "YOU DON'T FOLLOW MIX !
YOUR CHILDREN FRUIT STUPID DOESN'T PLAY !"

Pramugara itu terperangah, tidak mengerti bahasa yg sedemikian ruwet ini.
Tahukah anda terjemahan bahasa indonesianya?


Terjemahannya adalah" JANGAN IKUT CAMPUR ! ANAK BUAHMU BODOHNYA BUKAN MAIN !"

Minggu, 19 Desember 2010

seri telaah kristen X: AKIDAH DAN SEJARAHNYA 2: MASA YUNANI KUNO

... LANJUTAN ...



FILSAFAT YUNANI KUNO ATAU SOFISME-RELATIVISME


Setidaknya, mari kita telaah berbagai pemikiran dan distorsi atau bahkan resultan dari telaah pemikiran (Filsafat) dan Hati ini, sejak suatu jaman terkenal, yaitu jaman Yunani Sofisme Kuno dengan Filsafat Sofistik Yunani Kuno pra-Masehinya itu. 

Permulaan pemilihan masa telaah ini juga sesuai dengan pembagian telaah jaman yang umum saat ini (sesuai pembagiannya oleh bangsa Barat yang mendominasi ilmu-pengetahuan saat ini). 

Masa Yunani Kuno ini antara lain bertokohkan Filsuf Thales (624-546 SM), Anaximander, Parmanides, Gorgias, Zeno, Socrates, Plato, Aristoteles, Ptolemeus, Galen, Hipocrates, Euclides, dsb. 

Masa ini kemudian juga menjadi salah satu inspirasi Renaissance Barat berabad-abad kemudian setelah Masa Abad Pertengahan (Medieval), dalam melawan kebodohan masa Abad Pertengahan.

Walaupun sudah jamak pula kebiasaan orang dalam berpikir kritis di masa Yunani Kuno ini, namun secara umum inti dari pemikiran-pemikiran Filsafat Sofistik Yunani Kuno mereka adalah ”relativitas pemikiran”, atau yang disebut juga sebagai, Filsafat Relativisme. 

Filsafat Relativisme ini, adalah paham yang berdasarkan pemikiran dasar bahwa "Kebenaran itu sesungguhnya (adalah) relatif”. Maka karenanya pula, ”seluruh versi kebenaran dapat saja menjadi benar”, yang dalam hal ini bahkan masih pula bergantung kepada pemikiran, perasaan, hawa nafsu, dan lain-lain, dari para pemikirnya; manusia, tentu saja. 

Dan di beberapa Abad kemudian, khususnya di masa kini, ini juga menjadi salah satu inspirasi dasar gerakan Pluralisme. Termasuk juga dalam Pluralisme Agama (”Bahwa semua agama itu benar, semua mengajak ke Surga, maka Tuhan dapat dicapai melalui agama manapun, karena kebenaran itu sebenarnya relatif”) dan Liberalisme, yang didengung-dengungkan kaum Liberalis, Sekuleris, Pluralis, Spiritualis, Fremasonry, dan sebagainya. 

Kemungkinan menelaah dan menggunakan alam semesta dengan menggunakan akal yang ternyata terbatas kemampuannya itu, menjadi menarik, bagi kaum ini, dan mereka menggunakannya untuk memahami segala hal. 

Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sebab dari Filsafat, adalah pemikiran akan alam semesta, dan segala hal yang berkaitan dengannya. Maka, misalnya yang terkenal, dalam hal ini, adalah perdebatan di antara mereka sendiri, kaum pemikir-filsuf di masa Yunani Kuno itu, tentang apa sesungguhnya isi dari alam semesta, yang notabene lebih didasarkan kepada sangkaan dan pemikiran menurut mereka secara ‘bebas’ (dengan kata lain juga, lebih-kurang, adalah dengan ‘liar’), tanpa banyak mengindahkan petunjuk aturan dari Tuhan. 

Kiranya ini juga dapat telah terjadi karena tak cukup ada ilmu-pengetahuan di masanya, sebagai pembanding-penguji kebenarannya, maka pemikiran dapat menjadi liar, rusak, dan merusak. Dan manusia serta lingkungannya pun tak pelak turut menjadi rusak. Kebijaksanaan, atau hikmah, tentu saja, diperlukan dalam menyaringnya. 


Dalam buku ”Filsafat Umum” oleh Prof. Ahmad Tafsir (banyak sumber penulisan tentang berbagai macam Filsafat di naskah ini berasal dari buku ini pula), contoh telaah pemikiran relatif dari Filsafat Relativisme Sofistik Yunani adalah:

- Klaim Thales tentang alam semesta, dalam menjawab pertanyaan ”Apakah isi alami dari alam semesta?” Jawabannya karenanya adalah, ”Air! ”. 

- Klaim Anaximander tentang pertanyaan yang sama, yang adalah bahwa, “Substansi pertama, yaitu udara, telah ada dengan sendirinya”. 

- Klaim Heraclitus bahwa, “Berdasarkan intuisi(nya), alam (itu) selalu berubah”. 

- Di luar klaim ini, ada tokohnya yang lain yang bernama Parmanides, yang bersandarkan kepada pemanfaatan logika dan deduksi logis (primitif). 

- Sementara itu, Filsuf yang bernama Zeno, masih menekankan pada telaah Filsafat Relativisme dan karenanya mengaminkan Relativisme kebenaran. 

- Tokohnya yang mungkin paling terkemuka adalah Socrates (384-322 SM).

Socrates dapat dikatakan adalah seorang moralis yang tidak sepenuhnya mendasarkan diri pada Akal, namun juga membangun pemahamannya melalui eksplorasi Hati, dan ia tidak mau percaya pada relativitas kebenaran. 

Maka Socratespun menegaskan bahwa, “Tidak semua kebenaran relatif, melainkan ada kebenaran sejati secara umum atau obyektif”. 
Di sini, Socrates telah selangkah lebih maju daripada rekan-rekan sejawatnya, mencoba menelaah alam dan potensinya dengan lebih seimbang. Dia, menurut kaum Filosof Barat, lebih religius. 

- Murid Socrates, Plato, adalah pencetus Filsafat Teosentris, yaitu sebuah pemahaman bahwa semuanya berpusat kepada Tuhan, dan kebenaran itu karenanya, sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan. Dia pun, seperti gurunya, semakin religius. 

Paham Platonisme ini di kemudian hari, di masa Filsafat Kristen, menjadi dasar bangsa Barat (Kristen) dan para Filsuf serta aliran Filsafatnya untuk mengklaim tentang kemutlakan kebenaran ajaran agama mereka (penjelasan tentang ini semua ada di bagian Filsafat Abad Pertengahan) dengan segala argumentasinya. 

Bahkan kaum Apologetik yang senang mencari berbagai macam cara untuk membenarkan klaim mereka, misalnya kaum Apologetik Gereja, senang bermain-main di antara berbagai paradigma pemikiran terutama pemkiran a la Relativisme, sayangnya tanpa banyak menyadari kiranya, bahwa tak ada pemikiran manusia yang sempurna.

- Tokoh Filsafat Sosisme Yunani yang menonjol kemudian, Aristoteles, amat dipengaruhi metode yang kemudian disebut sebagai metode Sistematis Empiris yaitu metode yang mendasarkan keyakinannya hanya kepada pengalaman yang dialami, dalam menelaah sesuatu. Penganut paham ini, tak akan mau mempercayai apapun, tanpa mengalaminya terlebih dulu. 

Hal ini, di kemudian hari berabad-abad kemudian, juga menjadi dasar paham yang mengedepankan logika (saja) dalam menelaah apapun, misalnya, paham Rasionalisme, Materialisme, dan tentu saja, Empirisme (penjelasan tentang ini semua ada di bagian Filsafat Modern dari naskah ini), yang menggali inspirasinya antara lain dari Filsafat Yunani Kuno ini, sesudah muak akan kungkungan akan potensi akal pada Masa Abad Pertengahan di bawah kontrol Gereja. 


Di masa ini, yang dipentingkan secara umum adalah penggunaan Akal. 

Dapatlah dikatakan karenanya, bahwa dalam masa ‘perang’ berkepanjangan antara Akal dan Hati sepanjang sejarah manusia, pemanfaatan Akal (walaupun secara dominan masih relatif menurut klaim pemikirnya masing-masing), dianggap menang pada masa itu.

Pemanfaatan akal dominan di masa ini, namun tetap tidak menjamin kebenaran, karena adanya kecenderungan kebenaran relatif (Filsafat Relativisme Sofis Yunani Kuno) di mana semua versi kebenaran manusia dapat saja secara bersamaan dianggap benar itu, (tak cukup) obyektif. 


... BERSAMBUNG ...

seri telaah kristen IX: AKIDAH DAN SEJARAHNYA 1: MASA YUNANI KUNO

.. LANJUTAN ...

Kita akan kembali ke masa Yunani Kuno, sebelum masa Masehi saat Yesus dalam khazanah Kristen ada di Bumi. Ini diperlukan, untuk mengerti cara berpikir kaum Barat yang mendominasi agama Kristen, termasuk bahwa ada berbagai pemikiran dan akidahnya yang diadopsi mereka. 

Maka menurut Barat atau Filsafat Barat, sehubungan dengan ini, telaah agama dan pemikiran, dapat pula dipisahkan kemudian (bila memang saja perlu untuk dipisahkan), mengikuti pengaruh adanya sekian banyak konsentrasi penelaahan dan pembangunan potensi manusia yang dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yang juga sesuai menurut para ahli pemikiran modern Barat yaitu:

• penelaahan melalui jalur Akal (berdasarkan logika, rasio, empirik, nyata) 

• penelaahan melalui jalur Hati (berdasarkan perasaan, abstrak) 

Kemudian kita dapat temukan pula pola, kecenderungan, naluri, tindakan serupa, rangkaian pemilah-milahan di berbagai hal-ihwal ragam sisi kehidupan manusia lainnya yang mengikuti dua pemisahan dasar ini. 

Dan karenanya, dengan didominasi peradaban bangsa Barat itu, manusia selama berabad-abad pula membuat pemisahan yang akhirnya menjadi perang berkepanjangan antara:

- Pendukung telaah kehidupan ‘Jalur Akal’ (atau Pemikiran, Logika), melawan, 

- Pendukung telaah kehidupan ‘Jalur Hati’ (yang menurut sebagian manusia, adalah Agama atau Iman) 

Keduanya sering dianggap bertentangan pula satu sama lain, bagi sementara kalangan. 

Dalam Islam sendiri, tidaklah demikian, karena setidaknya saja, keduanya adalah potensi yang diberikan Allah subhanahu wa ta’aala kepada makhlukNya. 

Keduanya patut berjalan bersama dan karenanya pula, sepatutnyalah, saling melengkapi satu sama lain. Atau bahkan, sebenarnya, tak ada pembagian demikian. 

Dalam Islam, agama mencakup pemikiran dan perasaan, iman, mencakup perbuatan, dan apapun di luar itu, jika ada, yang relevan. Sudah pulalah ada bukti-bukti pendukungnya, yang cenderung pula dilupakan orang, misalnya tentang apa yang telah dicapai para generasi Islam awal, kegemilangan mereka yang tak terbantahkan sejarah, yang adalah contoh nyata pengejawantahan ini semua. 

Yang kemudian kiranya sebaiknya penting diwaspadai adalah bahwa pengkotak-kotakan itu bagi beberapa kalangan yang kurang awas (atau menjadi kurang awas, sengaja atau tidak), dapat menjadi jebakan berbahaya yang mungkin menjerumuskan mereka ke dalam pemahaman lebih lanjut yang juga terkotak-kotak. 

Demikian seterusnya dalam jebakan ’lingkaran setan’.

Pemahaman yang terkotak-kotak ini adalah serangkaian pemahaman-pemahaman yang tidak menyeluruh dan cenderung pula menyempit, walau memang pada dasarnya dapat saja demikian secara alami, dan secara naluriah tentu disesuaikan pula dengan potensi masing-masing, sekali lagi. 

Namun, apapun juga, keadaan ini, pengkotak-kotakan ini, tetap berbahaya, jika siapapun tak mempunyai gambaran menyeluruh (atau setidaknya mendekati menyeluruh) akan apapun yang ia hadapi. 

Dan keterkotak-kotakan ini, tentu saja dapat dipandang menjadi semacam satu pemecahan masalah (sementara) yang dapat melebar ke permasalahan baru (walaupun itu juga adalah satu kewajaran alami, Islami, manusiawi), sampai ke satu titik perhentian akhir nanti. Namun tetap tak lengkap. 

Maka dapat disadari pula kiranya, bahwa jamak pula umat manusia (setidaknya umat saat ini, sisa dari peradaban Modern yang digantikan masa Post-Modern saat ini, sejak Abad XXI Masehi masa ini, yang cenderung kembali ke hal alami, lebih Islami), mempercayai sangat akan kekuatan pemikiran (Akal) dan teknologi peradaban manusia (terutama dengan dipimpin cara peradaban Barat), yang ternyata sepanjang jaman pun masih pula berubah-ubah prinsipnya dan tidak membawakan kebaikan dan penyelesaian yang menyeluruh, integratif, paripurna, sistemik (kaafaah). 


SAINS DAN FILSAFAT SERTA MISTIK


Sebelum melangkah menuju pembahasan ini, berikut adalah beberapa hal yang perlu dipahami dalam khazanah Barat dan umum (karena jamak mengikuit pembagian ini), sebagai dasar dalam memahami pembagian-pembagian pembicaraan berikutnya tentang telaahnya. 

Prof. Ahmad Tafsir dari Indonesia dalam bukunya berjudul ”Filsafat Umum” menyebutkan tiga perbedaan dasarnya:

Sains: 

Didukung oleh bukti empiris (harus berdasarkan pengalaman atau dialami) dan logika. 

- Paradigma telaahnya adalah kaidah positif, dan metode ilmiah atau sains adalah sebagaimana dalam kalimat ”Buah ditanam, akan berbuah, dan buah ini terlihat nyata, dapat dimakan, dimanfaatkan.”

Filsafat: 

- Kebenaran yang didapatkan secara logis, tidak empiris (tidak dari pengalaman, tidak harus dialami). 

- Paradigmanya adalah kaidah logis, dan metode logisnya adalah sebagaimana dalam kalimat ”Buah ditanam, akan berbuah, maka, apakah guna lebihnya? Apakah maksudnya? Mengapa itu terjadi? Mengapa ada buah? Dsb. ...” 

Mistik: 

- Kebenaran yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan logis, misalnya tentang keberadaan Tuhan, makhluk halus (Jin) dan sebagainya. 

- Paradigmanya adalah kaidah mistis, beberapa kalangan menganggap metode latihannya adalah Dzikr, Riyadlah Sufistis dan lain-lain. 


Maka disebutkan pula, sebab timbulnya Filsafat sendiri adalah dari berbagai keindahan alam, fenomena alam, hukum alam, bahkan dongeng atau legenda masyarakat, dsb. Tujuan dari Filsafat (dan para pendukungnya) itu sendiri adalah untuk mencari pengetahuan sebenarnya, untuk ’menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya’ (dan ternyata gagal karena memisahkan potensi akal dan hati), dan isi dari Filsafat itu, tergantung dari obyek yang ditelitinya. 

Perbedaan Filsafat dengan Sains adalah bahwa obyek materia sains adalah empiris (nyata, dapat dialami), sedangkan obyek materia filsafat adalah abstrak (tak nyata), lebih luas atau non empiris mutlak (misalnya mengkaji tentang Tuhan, Hari Akhir, dsb.). 

Secara umum karenanya, manusia biasa menyebut pula bahwa Filsafat memanglah didasarkan pada Akal, dan para Filsuf serta peminatnya, adalah para pendungkung utama jalur Akal ini. 

Pendeknya, penelaahan jalur Akal adalah sama dengan (berdasarkan) Filsafat, dan dalam khazanah Barat, agama adalah sama dengan semata-mata mengandalkan telaah perasaan, Hati (satu hal yang berbeda dengan kaidah Islam tentang keduanya, yang patut ditelaah seimbang). 


... LANJUTAN ...